Air merupakan elemen utama dalam pembentukan permukiman. Sejak ribuan tahun lalu manusia selalu memilih lokasi pemukiman dekat sungai, mata air, dan danau. Keberadaan air menentukan keberlangsungan hidup yang digunakan untuk berbagai kebutuhan, seperti untuk minum, memasak, mandi, bercocok tanam, hingga urusan sanitasi. Tanpa air, permukiman tak akan bisa berkembang. Ini bukan isapan jempol belaka, tapi fakta sejarah.
Era Neolitik sebagai Era Mula-Mula
Sekitar 11.000 tahun lalu manusia mulai meninggalkan gaya hidup nomaden dan mulai menetap memasuki era Neolitik. Untuk bertahan hidup dan bertani kebutuhan akan air yang konsisten meningkat dengan pesat. Mereka mulai menggali sumur dan mengelola saluran air agar tidak tergantung sepenuhnya pada hujan alami.
Jericho, salah satu kota tertua di dunia, dibangun di sekitar mata air Ain as Sultan. Meskipun di daerah padang pasir, air tetap tersedia sepanjang tahun. Sama halnya peradaban lembah Tigris dan Efrat (Mesopotamia). Sungai-sungai ini mendukung kebudayaan seperti Uruk dan Ur dengan sistem irigasi sederhana yang memperkuat pangan dan perdagangan.
Kemudian orang Mesir kuno sudah paham kekuatan Sungai Nil. Banjir tahunan membuat tanah subur, didukung sistem kanal dan bendungan tingkat rendah. Air rendah bukan hanya menyirami, tapi juga membuat pertanian stabil dan memperkuat kerajaan mayor seperti Thebes maupun Karnak.
Peradaban Lanjutan dan Teknologi Air yang Canggih
Civitas Nabatea di Petra, gurun Jordan. Peradaban ini membangun sistem pengumpulan air hujan lewat dam, kanal, dan gentong tanah liat. Hasilnya, kota padang pasir ini mampu menampung air meski musim kemarau panjang.
Syushtar Hydraulic System di Iran, sejak zaman Sassanid, terdiri dari kanal, taman, bendungan, dan sistem pam air bawah tanah yang mengontrol aliran dari sungai ke pusat kota.
Tank cascade system di Sri Lanka. Ribuan kolam curah hujan dan sistem pengairan tradisional dikelola secara lokal sejak milenium pertama SM. Kini diakui oleh FAO sebagai warisan pertanian penting dunia.
Roma Kuno dan kota-kota di Anatolia seperti Ephesus, Pergamon membangun jaringan aqueduct untuk mengalirkan air dari mata air jauh ke pusat kota. Jaringan pipa terracotta dan saluran tak bertekanan memanfaatkan gravitasi dan penyimpanan cistern cistern untuk air bersih dan sistem sanitasi.
Air Bersih dan Kesehatan Publik
Pentingnya air bersih sudah dipahami sejak Hippocrates yang menyarankan merebus dan menyaring air hujan. Sistem sanitasi maju ditemukan pada masyarakat Harappa dan Mohenjo, Daro, di mana rumah mempunyai drainase sendiri yang ke sistem pembuangan kota. Ini secara signifikan menurunkan risiko penyakit dalam kota besar zaman kuno.
Dalam konteks urbanisasi, suplai air publik yang bersih sangat menentukan kesehatan. Contohnya, epidemi kolera di London pada 1854 ditelusuri ke pompa air umum yang tercemar. Ini memicu pendekatan ilmiah dalam sanitasi dan distribusi air publik.
Air sebagai Penopang Perekonomian
Sungai menjadi berkah dan membawa peluang. Bukan cuma soal pertanian, tapi juga perdagangan. Dari gandum hingga tekstil, barang bisa diangkut murah dengan perahu sepanjang sungai. Sungai juga jadi jalur pertukaran budaya yang banyak orang bergerak, ide bergerak, teknologi tersebar di dalamnya.
Nilai ekonomi sungai begitu besar. Kemakmuran Mesopotamia, Mesir, dan Indus erat kaitannya dengan sistem kanal perdagangan. Pelabuhan sutra di Indus bahkan menyambungkan Asia Selatan dengan Timur Tengah jauh sebelum jalur sutra darat populer. Para pemimpin yang berhasil mengendalikan air sering dipandang sebagai penguasa alam dan simbol kekuasaan suci, seperti mitos Yu the Great di Tiongkok yang menaklukkan banjir Sungai Kuning.
Hati-Hati, Air Bisa Meruntuhkan
Apabila sumber air berubah, peradaban bisa punah. Di Lembah Indus, ada dugaan bahwa sungai utama berubah jalur secara alami, tanah menjadi asin dan sistem irigasi rusak, menyebabkan kotakota Harappa ditinggalkan. Di Mesopotamia, melemahnya Sungai Tigris dan Efrat karena kekeringan panjang menyebabkan melemahnya Dinasti Akkad sekitar 2170 SM. Perubahan iklim juga disebut-sebut sebagai salah satu penyebab utama ketidakstabilan sosial saat itu.
Sementara jaringan pipa Romawi di beberapa kota seperti Jerash kolaps akibat gempa atau penjajahan. Tanpa pemeliharaan, sistem aqueduct jadi tak berfungsi dan masyarakat kembali mengandalkan sumur atau waduk lokal kecil. Permukiman menurun atau berpindah ketika air sulit diakses. Intinya, tak bisa mempertahankan jaringan air akan menjadikan masa depan suram.
Pengeolalan Air di Masa Modern
Permukiman modern tak lagi bergantung hanya pada sumber air alami. Pipa, reservoir, pengelolaan air limbah menjadi bagian vital kota besar. Namun tantangan tetap ada: peningkatan populasi, eksploitasi air underground, kekeringan, perubahan iklim.
Denmark menerapkan sistem jaringan air kota yang integratif dan berkelanjutan degan memanfaatkan daur ulang air dan integrasi lanskap perkotaan, sehingga menciptakan habitat aman seperti stadion atau pelabuhan berenang yang bersih.
Sponge city menjadi tren perkotaan modern. Kota-kota seperti Sanya (Tiongkok), Karachi (Pakistan), Berlin, Vienna mengadopsi konsep menyerap dan mengelola air di tempat, membangun jalur hijau, taman, permukaan permeabel untuk menahan aliran air hujan sekaligus memperbaiki kualitas air alami.
Rainwater harvesting di kota-kota seperti Pune (India) dan Greater Noida bertujuan menurunkan ketergantungan terhadap air tanah. Beberapa kompleks perumahan di Pune mampu memangkas biaya tanker bulanan dari puluhan ribu rupee menjadi seperempatnya setelah memasang sistem RWH.
Air adalah elemen hidup. Menjaganya berarti menjaga kehidupan permukiman masa depan. Menjaga dan merencanakan akses air bukan sekadar urusan teknis belaka. Itu soal masa depan yang sehat, lestari, dan berbasis pengetahuan sejarah panjang umat manusia.