Sejarah Oeang Republik Indonesia (ORI): Simbol Kemerdekaan dan Identitas Bangsa

No comments
Oeang Republik Indonesia

Sejarah Oeang Republik Indonesia (ORI) tidak hanya merupakan catatan tentang penciptaan uang fisik bagi negara yang baru lahir, tetapi juga merupakan simbol kemerdekaan, kemandirian ekonomi, serta kedaulatan politik bangsa Indonesia. Kehadiran ORI pada tahun 1946 menandai momen penting dalam perjalanan bangsa Indonesia untuk keluar dari bayang-bayang kolonialisme Belanda yang telah menguasai Nusantara selama lebih dari tiga abad. Pada masa-masa awal kemerdekaan, penciptaan mata uang nasional memiliki peran yang sangat signifikan dalam mempertegas posisi Indonesia sebagai negara berdaulat di mata dunia. ORI menjadi salah satu instrumen utama yang digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk menunjukkan kedaulatan negara yang baru merdeka di bidang ekonomi dan keuangan.

Latar belakang kemunculan ORI

Sebelum Indonesia merdeka, sistem moneter di Nusantara diatur oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada masa penjajahan, Hindia Belanda menggunakan gulden sebagai mata uang resmi. Gulden Belanda ini diterbitkan oleh De Javasche Bank, bank sentral Hindia Belanda yang berdiri pada tahun 1828. De Javasche Bank memainkan peran yang sangat penting dalam mengendalikan sirkulasi uang di wilayah Hindia Belanda. Selain itu, keberadaan gulden Belanda memperkuat dominasi ekonomi Belanda atas sumber daya alam Indonesia yang kaya, seperti rempah-rempah, kopi, teh, dan karet.

Namun, dengan pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1939 dan pendudukan Jepang di Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945, sistem keuangan di wilayah Nusantara mengalami gangguan besar. Selama masa pendudukan Jepang, mata uang gulden Belanda perlahan-lahan digantikan oleh uang pendudukan Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang mencetak dan mendistribusikan uang dengan sangat tidak terkendali untuk mendukung upaya perang mereka, yang akhirnya menyebabkan inflasi besar-besaran. Ketika Jepang menyerah kepada Sekutu pada Agustus 1945, kondisi ekonomi di Indonesia sangat kacau, dan mata uang pendudukan Jepang yang tersisa tidak lagi dipercaya oleh rakyat.

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintahan baru adalah memperbaiki kekacauan ekonomi yang diwariskan oleh perang dan pendudukan Jepang. Pada titik inilah gagasan untuk menciptakan mata uang nasional mulai berkembang, sebagai simbol kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia yang merdeka.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia adalah bagaimana mengelola sistem ekonomi dan moneter negara yang baru terbentuk. Pada saat itu, Indonesia masih berada dalam suasana transisi dari penjajahan Jepang, yang mengakhiri kekuasaan kolonial Belanda di Nusantara. Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), mata uang yang digunakan di Indonesia adalah mata uang pendudukan Jepang atau sering disebut sebagai “uang Jepang.”

Meskipun proklamasi telah diumumkan, Indonesia masih menghadapi situasi yang sangat kompleks. Di berbagai daerah, kekuasaan de facto masih berada di tangan pemerintah kolonial Belanda yang berusaha mengembalikan kendalinya atas Indonesia melalui agresi militer. Selain itu, Belanda juga berniat mengembalikan penggunaan mata uang gulden yang sebelumnya digunakan pada masa Hindia Belanda. Dalam situasi ini, pemerintah Indonesia merasa perlu untuk segera menunjukkan kedaulatannya, bukan hanya dalam konteks politik, tetapi juga dalam bidang ekonomi.

Kondisi ekonomi pasca proklamasi

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 merupakan tonggak sejarah yang mengubah nasib bangsa ini. Namun, kemerdekaan itu bukanlah akhir dari perjuangan. Segera setelah proklamasi, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan, baik dari dalam negeri maupun dari luar. Belanda, yang merasa berhak atas wilayah Indonesia, tidak menerima kemerdekaan Indonesia dan berusaha untuk kembali menguasai Nusantara dengan dukungan pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Inggris.

Di tengah situasi ini, pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta harus berjuang tidak hanya dalam mempertahankan kemerdekaan melalui jalur diplomasi dan pertempuran bersenjata, tetapi juga membangun struktur ekonomi yang kuat. Sistem moneter merupakan salah satu aspek paling mendesak yang perlu segera diatasi, karena kondisi ekonomi Indonesia sangat kacau.

Kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu sangat memprihatinkan. Sistem keuangan kacau karena masa transisi dari penjajahan Jepang. Mata uang Jepang yang beredar dalam jumlah besar menyebabkan inflasi yang sangat tinggi. Mata uang ini tidak memiliki jaminan yang jelas dan semakin tidak bernilai seiring dengan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Sementara itu, pemerintah Belanda melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration) berusaha kembali memperkenalkan mata uang gulden sebagai mata uang resmi di wilayah-wilayah yang berhasil mereka kuasai.

Dalam situasi yang tidak menentu ini, rakyat dihadapkan pada tiga jenis mata uang yang beredar secara bersamaan:

  1. Mata Uang Jepang: Uang yang dicetak oleh Jepang selama masa pendudukan.
  2. Gulden Hindia Belanda: Mata uang yang digunakan di Indonesia sebelum pendudukan Jepang.
  3. Mata Uang NICA: Diterbitkan oleh pemerintahan Belanda yang ingin merebut kembali kendali atas Indonesia.

Keberadaan tiga mata uang ini membuat situasi ekonomi semakin tidak stabil. Selain itu, dengan anaya tiga mata uang ini menimbulkan kebingungan dan ketidakstabilan ekonomi. Mata uang pendudukan Jepang telah kehilangan nilainya, dan masyarakat tidak lagi mempercayainya. Uang Sekutu yang beredar terbatas dan tidak dapat diakses oleh sebagian besar masyarakat. Sementara itu, gulden Hindia Belanda hanya digunakan oleh kelompok tertentu dan dianggap sebagai simbol penjajahan. Dalam kondisi ini, diperlukan solusi yang cepat dan tepat untuk menciptakan mata uang nasional yang sah dan dipercaya oleh rakyat.

Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno dan Hatta menyadari bahwa untuk menjaga kedaulatan ekonomi, Indonesia membutuhkan mata uangnya sendiri. Oleh karena itu, langkah penerbitan mata uang baru menjadi prioritas utama.

Penerbitan Oeang Republik Indonesia (ORI)

Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia menyadari bahwa untuk membangun negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia harus memiliki mata uang sendiri. Penerbitan Oeang Republik Indonesia (ORI) bukanlah sebuah proses yang mudah. Pemerintah Indonesia saat itu masih sangat muda dan belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk mencetak uang dalam jumlah besar. Namun, kebutuhan mendesak akan mata uang nasional membuat pemerintah Indonesia bekerja keras untuk mewujudkan hal ini.

Proses pencetakan ORI bukanlah tugas yang mudah. Mengingat kondisi Indonesia yang baru saja merdeka dan masih menghadapi agresi militer Belanda, fasilitas yang dimiliki sangat terbatas. Pencetakan ORI dilakukan secara rahasia untuk menghindari sabotase dari pihak Belanda yang ingin menggagalkan upaya ini. Bahan baku untuk mencetak uang pun sulit didapatkan karena blokade ekonomi yang dilakukan oleh Belanda. Dalam kondisi yang serba sulit ini, semangat untuk mewujudkan kemandirian ekonomi tidak pernah surut.

Di lingkungan Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan A.A Maramis pada tanggal 29 September 1945 mengeluarkan Dekrit dengan tiga keputusan penting. Pertama, tidak mengakui hal dan wewenang pejabat pemerintahan tentara Jepang untuk menerbitkan dan menandatangani surat-surat perintah membayar uang dan lain-lain dokumen yang berhubungan dengan pengeluaran negara. Kedua, terhitung mulai 29 September 1945, hak dan wewenang pejabat pemerintahan tentara Jepang diserahkan kepada Pembantu Bendahara Negara yang ditunjuk dan bertanggungjawab pada Menteri Keuangan. Ketiga, kantor-kantor kas negara dan semua instansi yang melakukan tugas kas negara (kantor pos) harus menolak pembayaran atas surat perintah membayar uang yang tidak ditandatangani oleh Pembantu Bendahara Negara.

Pada 2 Oktober 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah Republik Indonesia yang menetapkan bahwa uang NICA tidak berlaku di wilayah Republik Indonesia. Pada 3 Oktober 1945, Maklumat Pemerintah Republik Indonesia menetapkan bahwa Indonesia memiliki empat mata uang yang sah.Bersamaan dengan dikeluarkannya maklumat tersebut, pemerintah berencana menerbitkan Oeang Republik Indonesia (ORI). Menteri Keuangan A.A Maramis membentuk “Panitia Penyelenggara pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia” pada 7 November 1945 yang diketuai T.R.B. Sabaroedin dari Kantor Besar Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan anggota-anggotanya terdiri dari Kementerian Keuangan yaitu H.A. Pandelaki & R. Aboebakar Winagoen dan E. Kusnadi, Kementerian Penerangan yaitu M. Tabrani, BRI yaitu S. Sugiono, dan wakil-wakil dari Serikat Buruh Percetakan yaitu Oesman dan Aoes Soerjatna.Pencetakan ORI dikerjakan setiap hari dari jam 7 pagi sampai jam 10 malam dari Januari 1946. Namun, pada Mei 1946, situasi keamanan mengharuskan pencetakan ORI di Jakarta dihentikan dan terpaksa dipindahkan ke daerah-daerah seperti Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Ponorogo. Hal ini yang menyebabkan, ketika ORI pertama kali beredar pada 30 Oktober 1946 yang bertandatangan di atas ORI adalah A.A Maramis meskipun sejak November 1945 ia tidak lagi menjabat sebagai Menteri Keuangan. Pada waktu ORI beredar yang menjadi Menteri Keuangan adalah Sjafruddin Prawiranegara di bawah Kabinet Sjahrir III.

Untuk mencetak ORI, pemerintah Indonesia memanfaatkan fasilitas percetakan sederhana yang ada di Yogyakarta. Sebagian besar proses pencetakan dilakukan secara rahasia untuk menghindari gangguan dari pihak Belanda dan sekutunya. Desain awal ORI cukup sederhana, tetapi di balik desain tersebut tersimpan semangat nasionalisme yang tinggi.

Tanggal bersejarah: 30 Oktober 1946

Pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan peluncuran Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai mata uang resmi negara. Pengumuman ini disampaikan melalui Maklumat Pemerintah yang dibacakan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. ORI pertama kali diterbitkan pada 30 Oktober 1946 oleh Menteri Keuangan saat itu, A.A. Maramis. Peluncuran ORI ditandai dengan upacara resmi di Istana Kepresidenan Yogyakarta. Pada 3 November 1946, ORI mulai diedarkan secara resmi dan menggantikan mata uang Jepang yang beredar luas di masyarakat.

Mata uang ini dirilis pertama kali dicetak dalam pecahan satuan yang cukup kecil, dalam beberapa pecahan, mulai dari 1 sen hingga 100 rupiah. Pada tahap awal, penyebaran ORI dilakukan terutama di wilayah-wilayah yang berada di bawah kendali Republik Indonesia, seperti Yogyakarta dan sekitarnya. Sebagai mata uang nasional, ORI memiliki peran strategis dalam memperkuat posisi Indonesia di tengah upaya Belanda untuk kembali menguasai negara ini.

Peluncuran ORI menjadi titik balik dalam sejarah ekonomi Indonesia. Mata uang ini tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar, tetapi juga menjadi simbol kebanggaan nasional. Bagi rakyat Indonesia, ORI melambangkan kemandirian ekonomi dan politik setelah ratusan tahun berada di bawah penjajahan asing.

Desain dan karakteristik ORI

Desain ORI mencerminkan semangat nasionalisme yang tinggi.  Mata uang ini menjadi bukti nyata bahwa Indonesia adalah negara yang merdeka dan berdaulat. Pada lembaran ORI, tertera gambar lambang negara Indonesia dan simbol-simbol kebangsaan lainnya, seperti gambar pahlawan nasional. Pada pecahan 1 rupiah, misalnya, terdapat gambar pahlawan nasional dan tulisan “Republik Indonesia” yang mencolok. Selain itu, terdapat juga kalimat “Oeang Republik Indonesia” yang tertulis dengan jelas sebagai bentuk penegasan bahwa ini adalah mata uang resmi negara yang merdeka.

ORI didesain dengan sangat sederhana karena keterbatasan teknologi percetakan pada saat itu. Kertas yang digunakan pun bukan kertas khusus seperti yang digunakan untuk mencetak uang pada umumnya, melainkan kertas biasa yang lebih mudah didapatkan. Namun, meski dengan segala keterbatasan, penerbitan ORI merupakan tonggak sejarah yang sangat penting dalam perjalanan bangsa Indonesia.

Tantangan dalam penggunaan ORI

Penerbitan ORI tidak serta-merta mengatasi semua masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia saat itu. Ada beberapa tantangan besar yang muncul setelah ORI resmi diedarkan.

Kepercayaan yang rendah

Pada awal peredarannya, ORI dihadapkan pada tantangan besar, terutama dari sisi kepercayaan masyarakat. Masyarakat yang masih terbiasa menggunakan mata uang pendudukan Jepang atau gulden Hindia Belanda pada awalnya ragu untuk menerima ORI. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah melakukan berbagai upaya, termasuk melakukan sosialisasi tentang pentingnya menggunakan ORI sebagai mata uang resmi negara yang merdeka.

Namun, dengan seiring berjalannya waktu dan melalui perjuangan diplomasi serta perlawanan fisik, ORI mulai diterima oleh masyarakat secara luas. Pemerintah terus bekerja keras untuk menstabilkan nilai tukar ORI dan mengatasi masalah inflasi. Upaya ini berhasil ketika pada akhirnya ORI menjadi satu-satunya mata uang yang digunakan di seluruh wilayah Indonesia.

Tidak diakuinya ORI di wilayah lain

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi adalah fakta bahwa ORI hanya diakui di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia. Belanda yang masih bercokol di beberapa wilayah Indonesia, terutama di bagian barat Indonesia, tidak mengakui ORI sebagai mata uang sah. Di wilayah-wilayah yang berada di bawah kendali Belanda, seperti Jakarta dan sebagian besar kota-kota besar di Jawa, mata uang yang diakui adalah gulden NICA. Hal ini menyebabkan dualisme moneter yang menyulitkan transaksi antar daerah.

Ketidakseragaman mata uang ini juga menciptakan masalah dalam perdagangan. Misalnya, pedagang di wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia bisa saja menolak pembayaran dalam mata uang NICA, sementara di wilayah yang dikuasai Belanda, ORI tidak diterima. Situasi ini menambah kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat di masa itu.

Inflasi

Pengedaran ORI dalam jumlah yang besar juga memicu inflasi, terutama karena ekonomi Indonesia belum stabil pasca perang. Pemerintah Indonesia mencetak ORI dalam jumlah yang cukup besar untuk membiayai berbagai kebutuhan negara, termasuk kebutuhan militer. Namun, hal ini menyebabkan uang yang beredar di masyarakat jauh lebih banyak daripada jumlah barang yang tersedia, sehingga harga-harga naik dengan cepat.

Pemerintah berusaha mengendalikan inflasi dengan berbagai cara, termasuk dengan mengendalikan jumlah uang yang beredar. Namun, karena kondisi ekonomi yang masih sangat labil, upaya ini tidak selalu berhasil. Inflasi yang tinggi menambah beban masyarakat yang sudah kesulitan akibat kondisi perang.

Penyelundupan dan pemalsuan

Situasi perang juga memicu praktik penyelundupan dan pemalsuan ORI. Beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab mencoba memanfaatkan situasi dengan mencetak uang palsu untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Pemerintah Indonesia harus bekerja keras untuk mengatasi masalah ini, termasuk dengan memperketat pengawasan terhadap peredaran uang.

Selain itu, penyelundupan mata uang juga menjadi masalah serius. Mata uang yang dicetak di wilayah yang dikuasai oleh Belanda sering kali diselundupkan ke wilayah Republik Indonesia untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi. Hal ini menambah kompleksitas situasi moneter di Indonesia pada masa itu.

Peran ORI dalam memperkuat kedaulatan ekonomi Indonesia

Tidak hanya menjadi alat transaksi ekonomi, ORI juga memainkan peran penting dalam perjuangan diplomasi Indonesia di mata dunia. Setelah kemerdekaan, Indonesia harus mendapatkan pengakuan internasional dari negara-negara lain untuk memperkuat posisinya sebagai negara merdeka. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki mata uang nasional yang sah.

Pengakuan internasional terhadap ORI menjadi bukti bahwa negara-negara lain mulai menerima kedaulatan Indonesia. Meskipun pada awalnya banyak negara yang enggan mengakui Indonesia karena tekanan dari Belanda, seiring berjalannya waktu, semakin banyak negara yang mengakui kemerdekaan Indonesia.

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, penerbitan ORI memiliki peran yang sangat penting dalam memperkuat kedaulatan ekonomi Indonesia. Dengan memiliki mata uang sendiri, Indonesia berhasil menunjukkan kepada dunia internasional bahwa negara ini benar-benar merdeka, tidak hanya secara politik tetapi juga secara ekonomi.

ORI juga berperan sebagai alat untuk membiayai perjuangan kemerdekaan. Pada masa perang kemerdekaan, pemerintah Indonesia harus membiayai berbagai kebutuhan, termasuk kebutuhan militer. Dengan mencetak ORI, pemerintah dapat membiayai berbagai program yang diperlukan untuk mempertahankan kemerdekaan, meskipun hal ini sering kali berdampak pada peningkatan inflasi.

Selain itu, ORI juga berperan dalam membangun identitas nasional. Mata uang bukan hanya alat transaksi, tetapi juga simbol kedaulatan. Dengan mencetak ORI, pemerintah Indonesia berhasil memperkuat rasa nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia. ORI menjadi simbol perjuangan dan kemerdekaan yang sangat berarti bagi rakyat Indonesia pada masa itu.

Berakhirnya ORI dan lahirnya Rupiah

Meskipun ORI memiliki peran yang sangat penting pada masa awal kemerdekaan, mata uang ini akhirnya digantikan oleh Rupiah pada tahun 1949. Penggantian ini dilakukan seiring dengan semakin stabilnya situasi politik dan ekonomi di Indonesia setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949.

Pada 2 November 1949, pemerintah Indonesia mengeluarkan keputusan untuk mengganti ORI dengan Rupiah sebagai mata uang resmi Indonesia. Pergantian ini dilakukan secara bertahap, dan pada tahun 1950, Rupiah sepenuhnya menggantikan ORI.

Meskipun ORI hanya beredar selama beberapa tahun, perannya dalam sejarah Indonesia tidak bisa diabaikan. ORI merupakan simbol awal kedaulatan ekonomi Indonesia dan menjadi bagian penting dari perjuangan bangsa ini untuk meraih kemerdekaan penuh.

Sebuah penutup

Sejarah Oeang Republik Indonesia (ORI) adalah bagian integral dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan. ORI diterbitkan pada masa-masa sulit ketika Indonesia baru saja merdeka dan masih menghadapi ancaman dari Belanda yang berusaha merebut kembali kendali atas negara ini. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, penerbitan ORI menjadi simbol penting dari kedaulatan Indonesia di bidang ekonomi.

ORI tidak hanya berfungsi sebagai alat transaksi, tetapi juga sebagai simbol perjuangan dan kemerdekaan. Dalam waktu yang singkat, ORI membantu memperkuat posisi Indonesia di mata dunia internasional sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Meskipun akhirnya digantikan oleh Rupiah, ORI tetap menjadi bagian penting dari sejarah moneter Indonesia dan menjadi bukti dari semangat perjuangan bangsa ini dalam meraih kemerdekaan penuh.

Baca Juga

Bagikan:

Tinggalkan komentar